Selasa, 18 Oktober 2011

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERILAKU DAN PRIBADI

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERILAKU DAN PRIBADI


Tugas Ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah perkm peserta didik.


Disusun Oleh :

MUHAMMAD AANG CHUNAIFI

108 381

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

STKIP PGRI JOMBANG

PENJASKES / 2010 A


Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisasi tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit-sakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.

1. Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik

  1. Perkembangan fisik

Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini terbentuk pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.

Awal dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya, normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangannya fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:

1. Perkembangan anatomis

Perkembangan anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan badan badan secara keseluruhan.

2. Perkembangan fisiologi

Perkembangan fisiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar dan pencernaan.

Aspek fisiologi yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf tersebut, rata-rata memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.

  1. Perkembangan perilaku psikomotorik

Perilaku psikomotorik memerlukan koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).

Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).

Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).

(1) Berjalan dan Memegang Benda

Keterampilan berjalan diawali dengan gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya selama tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).

Dengan demikian, maka dalam gerakan-gerakan psikornotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya sudah dapat diprediksi. Kalau teradi kelambatan-kelambatan dan ukuran normalitas waktu di atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu.

Keterampilan memegang benda, sampai dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya barulah merupakan gerakan meraih benda-benda yang ditarik ke dekat badannya dengan seluruh lengannya. Baru mulai pada masa enam bulan kedua dan kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur digunakan memungut dan memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya. Keterampilan memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan berjalan bebas dikuasai.

(2) Bermain dan Bekerja

Dengan dikuasainya keterampilan berjalan, anak bergerak sepanjang han ke segenap ruangan dan halaman rumah nya seperti tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat, melompat, dan sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya disentuhnya, diguncang, dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka diberikan atau disediakan alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya menyerupai konstruksi tertentu.

Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang ketat.

Pada usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-aturan yang ketat.

Pada usia remaja kegiatan motorik sudah tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan menulis, mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.

(3) Proses Perkembangan Motorik

Di samping faktor-faktor hereditas, faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fisik? dan perilaku psikomotorik.

2. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis

a. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.

Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.

Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.

Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.

a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.

b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.

c. Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:

1) Kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik”.

2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.

3) Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.

Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).

2. Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.

3. Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.

4. Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.

Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.

1. Eqocentric Speech

2. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).

Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).

Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:

1. Faktor Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus, maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.

2. Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal atau di atas normal.).

3. Status Sosial Ekonorni Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer & Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).

4. Jenis kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.

5. Hubungan Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.

b. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif

Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).

Sebagian besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang telah penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.

Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.

Selanjutnya, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan.

1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.

2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.

3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun

4. Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).

Istilah-istilah khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif anak versi Piaget tersebut:

1. Sensory-motor schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian).

2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.

3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;

4. Assimilation (asimilasi), yakni proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan.

5. Accomodation (akomodasi), yakni penyesuajan aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons.

6. Equilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi.

Terdapat hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.

Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan dengan dua cara dua ialah secara kualitatif dan secara kuantitatif.

(1) Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif secara Kuantitatif perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan sampai ke tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya) secara test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standford Revision Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup General Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat ditafsirkan antara lain sebagai berikut.

(a) Laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya berangsur menurun.

(b) Puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya berangsur menurun (deklinasi).

(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.

(2) Perkembangan Perilaku Kognitif secara Kualitatif

Piaget membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.

(a) Sensorimotor period (0,0 - 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku kognitif tampak antara lain:

(1) menyadari dirinya berbeda dan benda-befl sekitarnya;

(2) sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya;

(3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;

(4) mendefinisikan objek/benda dengan manipulasinya;

(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.

(b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual (2,0-4,0) dan intuitive (4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Perilaku kognitif yang tampak antara lain:

(1) self-centered dalam memandang dunianya;

(2) dapat mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;

(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;

(4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.

(c) Concrete erational (7,0 - 11 or 12,0)

Tiga kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah: rnengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret.

(d) Formal operational period (11,0 or 12,0 - 14,0 or 15,0)

Periode ini ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada kita antara lain:

(1) kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);

(2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational analysis);

(3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);

(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.

Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga periode ialah:

(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget;

(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan

(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan Piaget.

Dari telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat penting bagi pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage & Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:

(1) intellectual empathy;

(2) using concrete objects;

(3) using inductive approach;

(4) sequencing instruction;

(5) taking amount of fit of new experience;

(6) applying student self-regulation principles;

(7) developing cognitive values of interaction.

3. Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan

a. Perkembangan Perilaku sosial

Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.

Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).

1) Proses sosialisasi dan perkembangan sosial

Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi.

Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.

Perkembangan sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhier mengidentifikasikan perkembangan sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku engkau atau hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama.

2) Kecenderungan Pola Orientasi Sosial

Branson (Loree, 1970:87-89) mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia 5-16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1) withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung diikutinya sampai dewasa.

b. Perkembangan Moralitas

1. Perkembangan Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.

a. Kolsisten dalam rnendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.

b. Sikap orangtua dalarn keluarga

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten

c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua merupakan panut (teladah) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis) dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami Perkembangan moral yang baik.

d. Sikap orangtua dalam menerapkan norma

Orang yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhka dirinya dan Perilaku berbohong atau tidak jujur.

3. Proses Perkembangan Moral

Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.

1. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral mi, adalah keteladanan dan orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral

2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).

3. Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.

c. Perkembangan Penghayatan Keagamaan

1. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan

Sejalan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagarnaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatifl, mengalami perkembangan. Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya per kembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut.

(a) Pertama. Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh:

(1) sikap keagamaan reseptif meskipun banyak ber anya;

(2) pandangan ke-Tuhan-an yang anthropormorph (dipersonifikasikafi)

(3) penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual;

(4) hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat ego centric (memandang segala sesuatu dan sudut dirinya).

(b) Kedua. Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain, oleh:

(1) sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian

(2) pandangan dan paham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dan eksistensi dan keagungan-Nya;

(3) penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.

(c) Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, ialah:

(1) masa remaja awal, yang ditandai, antara lain, oleh:

(a) sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang her agama secara hypocrit (pura-pura) yang peng akuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya;

(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-annya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mende ngar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain;

(c) pen ghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama mi dilakukannya dengan penuh kepatuhan.

(2) masa remaja akhir, yang ditandai, antara lain, oleh:

(a) sikap kembali, pada umumnya, ke arab positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidup nya menjelang dewasa;

(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya;

(c) penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik (saleh) dan yang tidak. Ta juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dunia ini.

2. Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan

Para ahli (Zakiah, Starbuch, dan lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti di atas merupakan gej ala yang universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah, aliran, paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).

4. Perkembangan Perilaku Afektif, Konatif dan Kepribadian

a. Perkembangan Fungsi-Fungsi Konatif dan Hubungannya dengan Pembentukan

Fungsi konatif atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang bersumber terutama pada kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis kebutuhan manusia itu berkembang mulai dari sifat yang alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis) sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi dengan lingkungannya.

Di dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya, misalnya objek dan caranya, itensitasnya, dan sebagainya.

b. Perkembangan Emosional dan Perilaku Afektif

Emosi itu dapat didefinisikan sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling state) dan getaran jiwa (a strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah terjadinya perilaku.

Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fisiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).

Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.

2. Bersifat fluktuatif (tidak tetap)

3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.

Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).

a. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.

b. Emosi psikis, di antaranya adalah:

1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.

2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.

3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan buruk atau etika moral.

4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dan sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.

5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Perkembangan Kepribadian?

c. Perkembangan Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Istilah kepribadian merupakan terjemahan dan Bahasa Inggris o7iai’t’ istilah personality secara etimologis berasal dan bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribad Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya; seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya. Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dan tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.

Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj alamrnelakukan penyesuaian dirinya terhadap ling \kungan secara unik” Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.

1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

2) Temperamen, yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan

3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).

4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.

5) ResponsibilitaS (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri risiko yang dihadapi.

6) Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka; dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar